Pacaran, kata yang tentunya taka sing lagi bagi kaula muda masa kini, pacaran dalam era globalisasi ini sudah tidak pandang negative lagi bagi para kaula muda yang memang sangat senang membagi kasih, membagi cinta pada setiap lawan jenis yang mereka kagumi. Seorang cewek maupun seorang cowok bisa pacaran karena ada banyak factor.
Salah satu factor yang paling menentukan dalam pacaran tentu masalah kecocokan, kecocokan hati dan semua yang melekat pada diri sang lawan jenis tentunya, cinta adalah factor yang bisa dikatakan sebagai alas an pertama dalam menjalin sebuah hubungan antara lawan jenis tersebut. Cinta membuat segalanya seakan berakhir, hidup hanya milik berdua, bahkan hidup si cewek atauun si cowok bergantung satu sama lainya.
Cinta memang dapat merubah segalanya, membuat yang merah menjadi putih, dingin menjadi panas, panas yach “ jika salju turun aku tak akan pernah kedinginginan, sebab api cintaku padamu telah menghangatkan seluruh tubuhku” yach begitulah kadang rayuan gombal sang cowok agar tetap mendapakan simpati si cewek, kalau cewek yang suka rayuan-rayuan seperti itu sudah pasti takluk.cinta memang aneh bukan, apalagi pacaran yang begitu serius.
Pacaran yang serius inilah yang kadang membuat sesorang cewek ataupun cowok harus rela kehilangan jadi diri mereka, sebab semua waktu dan ruang yang ada hanyalah untuk mengerti satu sama lain. “ hidupku, matiku akan kupersembahkan padamu sayangku” yah sampai sebegitunya kata-kata itu muncul dari mulut salah satu pasangan kekasih.
Namun jika kesetian menjadikan diri kita kehilangan jati diri kita sendiri, kebebasan kita sendiri, bukankah itu hal yang sangat lucu. Bagimana mungkin eksistensi kita di tutupi atau bergantung pada orang lain, tentu ini menjadi sebuah fenomena yang serius untuk dikaji dari aliran eksistensialisme tentunya, eksitensialisme adalah aliran yang menitikberatkan pada kebebasan jari kodrat.
Kata dasar eksistensi (existency) adalah exit yang berasal dari bahasa latin yang berarti keluar dan sister yang berarti berdiri. Jadi eksistensi ialah berdiri dengan keluar dari dirinya sendiri, pokok pemikiran kaum eksistensi disini adalah manusia harus menempatkan diri diluar dirinya sendiri, manusia selalu dalam proses menjadi, Sartre menyatakan bahwa hakekat beradanya manusia bukan etre (ada) melaikan a etre (akan atau sedang), jadi manusia selalu dalam keadaan membangun ada nya.
Sejak munculnya filsafat eksistensi, cara wujud manusia menjadi tema sentral pembahasan filsafat, manusia selalu di jadikan subyek atas segala hal di dunia ini, subyek artinya yang sadar, menyadari, barang-barang yang disadarinya di sebut objek. Manusia seharusnya sadar akan keberadaanya sender dan mengerti bahwa dirinya adalah subyek dari segala.
Jika konsep filsafat eksistensialisme kita benturkan terhadap situasi dimana manusia merajut kasih yng berlebihan seperti diatas, apakah mereka sadar bahwa mereka adalah subyek dari segala di bumi, jika eksistentsi mereka sendiri masihbrgantung bahkan tertutupi oleh orang lain, bisakah mereka menjadi subyek atas dirinya sendiri. Sangat ironis memang jika manusia yang di sebut-sebut sebagai subyek di dunia ini, tapi mereka menggantungkan eksistensi mereka sendiri pada orang lain yang notabene nya mereka berkuasa atas diri mereka sendiri.
Jika kit ingin terbang maka kepakanlah sayap sekuat mungkin, bukan menunggu orang lain merangkul kita, kenapa pacaran sampai menutupi eksistensi kita sendiri, lagi pula dunia ini bukan hanya lingkaran piring yang sempit, kita harus bisa begerak, mengada atas keinginan dan kekuatan diri kita sendiri, seperti pokok ajaran Nietzshe yaitu kita harus mempunyai hasrat untuk berkuasa (THE WILL TO POWER), tentu berkuasa atas diri kita sendiri tentunya.
Jika berkuasa atas diri sendiri saja kita tidak mampu, bagaimana mungkin kita bisa mengada, bukan berkuasa malah dikuasai, fenomena pacaran yang berlebihan tersebut bisa kita sebut Absurd (tidak masuk akal), tentu kita takkan terus saja terjebak dalam kondisi seperti ini, kita harus keluar dari kondisi sedemikian agar kita dapat mengada bukan hanya ada